Salah satu dogma yang berkaitan dengan memberikan kebebasan pada anak adalah dengan munculnya istilah populer dalam psikologi barat yaitu Jangan katakan tidak pada anak. (Don’t say NO to Children). Setiap orang yang sedang mendidik haram hukumnya mengatakan kata “jangan” pada anak, ataupun peserta didik karena kata jangan akan membelenggu perkembangan sang Anak. Baik ia seorang Guru, Ibu, Ulama, Masyarakat Umum, dan mereka semua yang terlibat dalam proses pendidikan anak dihimbau untuk menerapkanya. Ajaran ini menganjurkan para pendidik untuk mengganti kata “Jangan” yang di stigma negatif menjadi kalimat–kalimat positif. Benarkah konsep ini akan meningkatkan pertumbuhan kreatifitas anak, atau justru akan membinasakan ?
Menurut Malik Badri dalam bukunya, Dilemma of Muslim
Psychologist. Para Psikolog Muslim termakan dogma dari Psikolog Barat yang
menyatakan, “Orang tua selalu berada di pihak yang salah. Sebaliknya berkembang
sikap atau pandangan yang menyatakan bahwa anak selalu benar.” Padahal menurut
Malik Badri dogma inilah yang membuat anak menjadi tak bisa menghargai
orangtuanya.
Sebagai orang tua muslim, kita harus berkaca kepada
keruntuhan moral yang terjadi pada anak-anak Barat. Hilangnya Rasa Hormat anak
terhadap orang tua diakibatkan melunaknya pemberian hukuman dari para orangtua.
Konsep Pendidikan “Don’t say NO to children,”
sesungguhanya merupakan embrio dari pemikiran liberalisme. Setiap anak dididik
berpikir dan bertindak sebebas mungkin sejak dini dengan dalih untuk tidak
membunuh kreatifitas sang anak. Padahal jika kita mau mengkritisi, kreatif
bukanlah identitas dari kebaikan. Penjahatpun mampu untuk berkreatifitas, Para
Koruptor yang sangat licin untuk ditangkap oleh KPK adalah contoh nyata kreatifitas
dari seorang penjahat.
Kebebasan tanpa larangan akan menghasilkan
manusia-manusia kebingungan yang pada akhirnya akan berhujung pada sikap
atheisme atau paling tidak iya akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
apa yang ia inginkan. Karena bagi orang yang bebas, peraturan adalah yang ia
kehendaki. Layaknya para koruptor hari ini yang bebas memilih jalan mencari
nafkah, kreatif dan lihai dalam mengakali birokrasi untuk korupsi.
Sebenarnya kesalahan yang kerap kali terjadi adalah
pelarangan tanpa penjelasan yang terang dan jelas. Orang tua dan guru terkadang
tidak mampu memberikan alasan pelarangan kepada sang anak. Cara pandang
yang memberikan kebebasan anak untuk memilih sesungguhnya adalah konsep menuju
kebinasaan. Karena tidak semua pilihan yang dihadapi oleh anak itu adalah
benar. Pasti ada pilihan-pilihan keliru yang dapat membinasakan dirinya.
Sehingga setiap orang wajib menggunakan kata jangan untuk membatasi
pilihan-pilihan keliru terhadap anak.
Sebelumnya, kalau kita mau teliti, mari kita tanyakan
kepada mereka yang melarang kata ‘jangan’, apakah ini punya landasan dalam
al-Qur’an dan hadits? Apakah semua ayat di dalam al-Qur’an tidak menggunakan
kata “Laa (jangan)”? Mereka pun mengatakan jangan terlalu sering
mengatakan jangan. Sungguh mereka lupa bahwa lebih dari 500 kalimat dalam ayat
Al-Qur’an menggunakan kata “jangan”.
Allahu akbar, banyak sekali! Mau dikemanakan ayat-ayat
kebenaran ini? Apa mau dibuang? Kalau mereka mengatakan kata jangan bukan
tindakan preventif (pencegahan), maka kita tanya, apakah Anda mengenal Luqman
AL- Hakim? Kita Juga Bisa Mengambil contoh dari Luqman yang yang dikisahkan
dalam Al-Qur’an. Luqman mengawali nasihatnya dengan pelarangan kemudian
ditambahkan penjelasan mengapa Menyekutukan Allah itu dilarang. Tentunya cara
ini jauh lebih utama karena kisah didalam Al Qur’an adalah kisah-kisah terbaik
dalam sejarah hidup manusia.
Ketika Luqman menggunakan redaksi “ janganlah
mempersekutukan Allah”, ketimbang “Sembahlah Allah” bertujuan untuk meniadakan
peluang pengakuan Tuhan-tuhan lainya yang patut disembah. Karena jika kalimat
yang digunakan “Sembahlah Allah” berarti tidak menutup kemungkinan ada
Tuhan-tuhan lain yang dapat disembah, namun dengan memilih “janganlah
mempersekutukan Allah” Luqman telah menutup pilihan-pilihan keliru bagi
anaknya.
Mengapa Luqmanul Hakim tidak menganti “jangan” dengan
“diam/hati-hati”? Karena ini bimbingan Alloh. Perkataan “jangan” itu mudah
dicerna oleh anak, sebagaimana penuturan Luqman Hakim kepada anaknya. Dan
perkataan jangan juga positif, tidak negatif. Ini semua bimbingan dari Alloh
subhanahu wa ta’ala, bukan teori pendidikan Yahudi.
Adakah pribadi psikolog atau pakar parenting pencetus
aneka teori ‘modern’ yang melebihi kemuliaan dan senioritas Luqman? Tidak ada.
Luqman bukan nabi, tetapi namanya diabadikan oleh Allah dalam Kitab suci karena
ketinggian ilmunya. Dan tidak satupun ada nama psikolog kita temukan dalam
kitabullah itu.
Membuang kata “jangan” justru menjadikan anak hanya
dimanja oleh pilihan yang serba benar. Ia tidak memukul teman bukan karena
mengerti bahwa memukul itu terlarang dalam agama, tetapi karena lebih memilih
berdamai. Ia tidak sombong bukan karena kesombongan itu dosa, melainkan hanya
karena menganggap rendah hati itu lebih aman baginya. Dan, kelak, ia tidak
berzina bukan karena takut adzab Alloh, tetapi karena menganggap bahwa menahan
nafsu itu pilihan yang dianjurkan orang tuanya.
Anak-anak hasil didikan tanpa “jangan” berisiko tidak
punya “sense of syariah” dan keterikatan hukum. Mereka akan sangat tidak peduli
melihat kemaksiatan bertebaran, tidak perhatian lagi dengan amar ma’ruf nahi
mungkar, tidak ada lagi minat untuk mendakwahi manusia yang dalam kondisi
bersalah, karena dalam hatinya berkata “itu pilihan mereka, saya tidak demikian”.
Mereka bungkam melihat penistaan agama karena otaknya berbunyi “mereka memang
begitu, yang penting saya tidak melakukannya”.
Sumber :
http://www.jasaperencanakeuangan.com/jangan-ragu-katakan-jangan-pada-anak/
0 komentar:
Posting Komentar