Home » » IDEALITA & REALITA RUMAH TANGGA ISLAM

IDEALITA & REALITA RUMAH TANGGA ISLAM

Bismillah, Walhamdulillah. Seperti biasa setiap malam kamis saya selalu berusaha untuk dapat hadir dalam kajian rutin pekanan yang dilaksanakan di lingkungan tempat tinggal. Namun yang membuat beda dengan malam-malam yang lalu adalah,
karena malam ini saya kebagian tugas untuk berbagi/ sharing. Temanya adalah tentang “ Rumah tangga Islam, antara idealita dan realita”. Terus terang tema ini adalah hal yang cukup berat saya sampaikan, mengingat beberapa alasan :  

1. Seharusnya materi ini diberikan oleh seseorang yang, minimal 
    usia pernikahannya lebih dari 25 tahun, sementara usia 
    pernikahan saya baru sekitar 4 tahun. 
2. Selayaknya materi ini juga diberikan oleh seseorang yang sudah 
    memiliki banyak anak, sementara saya baru memiliki satu anak. 
3. Orang-orang yang ada di hadapan saya adalah para ustadz yang 
    memiliki kafa'ah keilmuan yang sangat ahli di bidangnya 
    masing-masing. 

Untuk memenuhi tuntutan amanah, maka saya melakukan kutipan dan meringkas beberapa tulisan yang menginspirasi, yang berkaitan dengan tema tersebut. Hal ini sengaja saya lakukan supaya saya terhindar dari menggurui para audiens, karena sesungguhnya mereka itulah yang berhak menyampaikan hal ini. 

Kutipan pertama saya yaitu tentang “Kurang Garam”, sebuah tulisan yang dimuat oleh www.eramuslim.com dalam rubrik “Jendela”, edisi 16 Juni 2009. Dari tulisan ini dapat diambil beberapa hikmah, diantaranya : 
1. Mengelola rumah tangga tak ubahnya seperti mengolah 
    masakan. Perlu kesungguhan, kesabaran, serta cukup bumbu dan 
    garam. Satu lagi yang tak boleh ketinggalan: ketelitian. Sebab
    garam saja, masakan jadi tak punya rasa. Atau sebaliknya,
    kelewat terasa. Dan dua-duanya sangat mengurangi selera. 
2. Bahwa pasangan hidup kita adalah manusia, yaitu makhluk yang 
    tidak sempurna, karena di samping memiliki kelebihan sekaligus 
    juga terdapat kekurangan. Ibarat kata, no body perfect. 
3. Terkadang permasalahan keluarga itu muncul dari diri kita
    sendiri. Ini dikarenakan kita belum cukup dewasa dalam 
    menghadapi permasalahan tersebut. 

Kutipan kedua saya yaitu tentang “Keluarga Asmara – Keluarga dakwah, keluarga barokah”. Tulisan ini berumber dari : Majalah Saksi No.23/Th.III, 21 Agustus 2001. 
Di sini digambarkan bagaimana keluarga Abu Bakar Ash Shidik, semoga Alloh meridhoi mereka semua, adalah keluarga dakwah dan jihad. Seluruh anggota keluarga itu, termasuk pembantu rumah tangga (khadim) terlibat dalam kegiatan dakwah dan proyek jihad. Itu tampak jelas pada peristiwa besar hijrahnya Rasulullah saw ke Madinah. Abu Bakar Ash-Shiddiq bertugas menyertai Rasulullah saw dalam perjalanan. Abdullah putera Abu Bakar bertugas sebagai mediator informasi yang berkembang di kalangan orang-orang Quraisy untuk disampaikan kepada Rasulullah saw dan ayahnya yang bersembunyi di Goa Tsur sebelum melanjutkan perjalanan ke Madinah. Tugas itu dibantu oleh Asma Binti Abu Bakar, yang saat itu tengah hamil tua. Perempuan mulia ini juga mempunyai tugas lain yakni menyuplai makanan. Untuk menghapus jejak-jejak kaki itu maka Amir bin Fuhairah, khadim Abu Bakar yang ditugasi menanganinya. Ia setiap hari mengembalakan kambing-kambing ke arah goa tempat keduanya bersembunyi. Meski[un sosok isteri Abu Bakar tidak tampil dalam kisah ini, namun dapat dipastikan keluarga dengan kualitas seperti itu merupakan produk kerjasama yang baik antara suami dan isteri. Ini potret dari sebuah keluarga Muslim. Tidak seorang pun dari anggotanya yang berpangku tangan dari dakwah dan harokah (pergerakan). Semuanya memberikan kontribusi untuk dakwah dengan kemampuan yang dimilikinya. Insya Allah keluarga seperti itu akan mendapatkan barokah. Barokah adalah kebaikan yang tiada putus-putusnya. Namun, barokah ukurannya bukanlah materi. Barokah jauh lebih tinggi dari kenikmatan materi. Barokah membuat orang dapat mencapai kebahagiaan hakiki. 

Sementara kutipan ketiga saya adalah sebuah tulisan tentang “Mewaspadai Ancaman Disintegrasi Keluarga Muslim Indonesia”. Tulisan ini dikutip dari www. hidayatullah.com , edisi 31 Januari 2012, dan ditulis oleh Ahmad Arif Ginting. Tulisan ini untuk mengomentari sebuah berita dari Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) yang mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan angka perceraian nasional hingga 70 persen. (Republika, 24/01/2012). Dari data tersebut, ada beberapa hal penting yang layak direnungkan terkait idealita & realita rumah tangga Islam yang ada. Beberapa hal tersebut adalah : 

Idealita Konsepsional 

Tema keluarga dalam al-Quran disebutkan dalam rangkaian sub tema pokok sistem sosial (nizham ijtima’iy). Ada dua puluh satu isu yang dibahas dalam al-Quran berkaitan dengan keluarga; (1) manusia yang berpasang-pasangan (laki dan perempuan) dengan segala hak, kewajiban dan tanggung jawabnya, (2) keharusan menajga kehormatan sebagai manusia, (3) kedudukan wanita, (4) pernikahan, (5) talak, (6) nusyuz, (7) zina, (8) keharusan melindungi kehormatan wanita muhsanat, (9) hidup melajang, (10) hak anak-anak, (11) menyusi anak, (12) anak angkat, (13) nama nasab atau keturunan, (14) hak-hak anak yatim, (15) wasiat, (16) perlindungan harta anak-anak yang belum mampu mengurus diri, (17) kerabat, (18) perlakuan kepada budak wanita yang berasal dari pihak kalah perang, (19) perlindungan hak-hak anak gadis, (20) hak-hak waris dan (21) tuntunan hidup dalam internal keluarga. (Abu Ridha, 2007: xii). Keluarga yang diawali dengan pernikahan, bernilai ibadah dalam syariat karena tujuannya adalah memelihara hidup dan memohon keberlanjutannya hingga hari akhirat nanti. Pernikahan bukan hanya pertemuan untuk meningkatkan produktivitas hewani, ia merupakan kelanjutan secara simultan dari keimanan untuk mencetak generasi yang dapat merealisasikan risalah eksistensi kemanusian. Ayah dan ibu bekerjasama dalam melaksanakan tugas ini (Muhammad Al Ghazali, 2001: 135-42). Sebuah penelitian menegaskan bahwa (1) ketiadaan ayah dalam keluarga dalam arti ayah tidak menjalankan fungsinya sebagai seorang pendidik atau ketidakmengertiannya tentang kekhasan pada masa kanak-kanak akan menghambat perkembangan anak baik jasmani, perilaku maupun intelektualitasnya, (2) dasar utama pendidikan anak adalah keteladanan, cinta, kasih saying dan kelembutan, (3) pengaruh seksual, acara TV yang menyimpang, nyanyian yang tidak mendidik, perselisihan orang tua, waktu luang yang banyak dan ketergantungan kepada pembantu merupakan kendala yang paling rawan yang mengakibatkan penyimpangan perilaku anak, (Adnan Hasan, 1991). 

Realita Faktual 

Mengapa realitas faktual berbanding terbalik dengan idealita konseptual itu? Dalam buku “Tegak di Tengah Badai”, (Abu Ridha, 2007) telah diidentifikasi tujuh faktor penyebab disintegrasi lembaga keluarga. Pertama, globalisasi budaya yang berimplikasi pada pertemuan antar budaya sekaligus melahirkan proses saling mempengaruhi. Ringkas kata, pertemuan antar budaya bisa wujud dalam bentuk dominasi (penjajahan) terhadap yang lain. Kedua, limbah budaya permisivisme (serba boleh) yang berakar dari filsafat hedonisme atau libertianisme yang bertujuan mencapai segala kenikmatan fisik setinggi mungkin, sesering mungkin dan dengan cara apapun. Para sosiolog menegaskan bahwa permisivisme merupakan anak kandung dari nihilisme yang menyerukan pembebasan manusia dari segala bentuk otoritas termasuk agama dan relativisme yang menyatakan kebenaran atau moralitas adalah relatif, (Dr. A Zaki Badawi; 1978). Ketiga, perubahan-perubahan dramatik/liar sebagai konsekwensi dari budaya permisivisme tersebut. Baru-baru ini OPSI (Organisasi Pekerja Seks Indonesia) mendapat legalitas dari pemerintah pusat. Kini, mereka menargetkan legalitas dari nanggroe meutuah ini. Ada pun tentang penyimpangan perilaku seksual, penulis punya saksi hidup –seorang mahasiswa- yang nyaris menjadi korban pelaku homoseksual (gay) dua tahun lalu. Menurut pengakuannya, di kampusnya ternyata sudah eksis sebuah komunitas gay, sedangkan komunitas lesbi ada di Fakultas Ekonomi kampus lainnya. Masalah ini – seksualitas dan reproduksi- bisa bersifat positif yaitu membangun kepribadian, akan tetapi juga bisa menghancurkan sfat-sifat kemanusiaan… (Kartini Kartono, Jilid 1, 1992: 220-21). Keempat, rasa malu yang hilang dan manusia yang tragis. Lihatlah tingkah polah mayoritas remaja yang telah kehilangan syaraf malu; mojok di warung gelap di pinggiran trotoar, mejeng di atas kendaraan di sepanjang tempat-tempat rekreasi dan sebagainya. Sedangkan manusia tragis adalah mereka yang tidak berdaya, kepribadian terpecah (split personality),dan terasing dalam keramaian. Kelima, media massa yang destruktif. Keenam, badai pornograpi dan pornoaksi. Ketujuh, andil gerakan feminisme ekstrem yang menegasikan lembaga keluarga. 

Cinta Bukan Segalanya 

Banyak orang yang begitu bersemangat memasuki bahtera rumah tangga bermodalkan cinta yang menggebu terhadap pasangannya. Tapi pada kenyataannya cinta saja tak cukup untuk membangun biduk rumah tangga yang berkualitas. Puncak kenikmatan sebuah pernikahan bukan dicapai melalui penyatuan fisik saja, melainkan melalui penyatuan emosional dan spiritual yang saling menumbuhkembangkan. Pernikahan adalah sarana pembelajaran yang berkelanjutan, baik untuk mempelajari karakter pasangan ataupun meng-upgrade diri masing-masing. Karenanya sangat penting membangun komitmen bersama untuk saling menghargai dan mengingatkan baik sebelum, di awal maupun sepanjang pernikahan. Komitmen itu mengikat tapi tidak kaku, sehingga tidak ada salahnya diperbarui jika di tengah jalan kesepakatan itu tidak sesuai lagi. Masyarakat Islami Solusi fundamental dari permasalahan di atas adalah kembali kepada pemahaman yang menyeluruh terhadap syariat itu sendiri. Acapkali kesalahpahaman terhadap syariat melahirkan perilaku yang menjadi bumerang berkepanjangan. Kedua, masyarakat islami itu tidak semata diukur dengan anggotanya yang terdiri dari orang-orang beragama Islam, sementara nilai-nilai yang mengatur kehidupan sosialnya bukanlah aturan Islam. Namun, juga tidak serta merta dijuluki jahiliah, melainkan masyarakat yang tengah berproses menuju idealita. Masyarakat islami yang dicitakan itu berupa kehidupan yang dibimbing akidah islam, dikendalikan oleh pemahaman islam, digerakkan oleh perasaan islam, dipagari oleh akhlak islam, diperindah oleh tatakrama islam, didominasi oleh nilai-nilai islam, hukumnya adalah syariat islam. Dan, orientasi ekonomi, seni,dan politiknya adalah ajaran islam, (Al Qaradhawi, 2003). Sedangkan asy syahid Sayyid Quthb menegaskan, alasan utama dari keunikan masyarakat Islam dibandingkan yang lainnya karena masyarakat islam itu bentukan syariat yang khas yang datang dari sisi Tuhan. Syariat itulah yang membentuk masyarakat atas dasar apa yang diinginkanNya, bukan atas kehendak segelintir manusia. Dalam naungan syariat itulah tumbuh masyarakat Islam, menghadirkan ikatan-ikatan kerja, produksi, hukum, tatanan individu dan sosial, prinsip-prinsip perilaku, aturan interaksi dan seluruh tonggak bagi masyarakat yang khas, dengan corak yang jelas. Intinya, syariat itu yang membentuk masyarakat bukan yang dibentuk oleh masyarakat. Akhirnya, mari kita jaga keluarga kita dalam naungan syariah. 

Sebelum saya mengakhiri sharing malam ini, tidak lupa juga saya kutipkan sebuah tulisan dalam sebuah buku yang berjudul “Al Baitul Muslimul Qudwah” karya Seikh Abul Hamid Rabee. Dijelaskan bahwa keluarga adalah sistem Ilahi. Ini disebabkan karena keluarga adalah system Alloh, petunjuk Nabi, sekaligus perilaku atau akhlak bagi manusia. Oleh karenanya, membina keluarga adalah ibadah yang sangat mulia dan sempurna, dan harus ditumbuhsuburkan secara terus menerus. Semoga sharing malam ini dapat memberikan manfaat dan inspirasi, terutama bagi saya pribadi dan bagi kita semua. Kalaupun tidak, mudah-mudahan juga tidak merugikan. Aamiin. 

Wallahu a’lam.*

0 komentar:

Live Streaming

Radio Suara Muslim